Nasional

SMRC: Elektabilitas Pasangan Capres untuk NU Jawa Timur, Anies-Muhaimin 10,1 Persen

Oleh : very - Kamis, 12/10/2023 15:36 WIB

Capres 2024. (Foto: Tribunnews.com)

 

Jakarta, INDONEWS.ID - Elektabilitas pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar di kalangan anggota Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur mencapai 10,1 persen.

Demikian temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 2 sampai 11 September 2023. Temuan ini dipresentasikan pendiri SMRC, Prof. Saiful Mujani, dalam program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Capres Pilihan Warga NU Jatim Pasca Deklarasi AMIN” yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 12 Oktober 2023.

Video utuh presentasi Prof. Saiful bisa disimak di sini: https://youtu.be/hcH74Kgm-kk

Dalam simulasi pasangan, pasangan Ganjar Pranowo – Ridwan Kamil mendapatkan dukungan anggota NU Jawa Timur 46,3 persen; Prabowo Subianto – Erick Thohir 22,9 persen; Anies – Muhaimin 10,1 persen; dan tidak jawab 20,7 persen.

Saiful menjelaskan bahwa dalam simulasi ini, SMRC belum memasangkan Ganjar atau Prabowo dengan nama-nama lain. Ganjar masih dipasangkan dengan Ridwan Kamil dan Prabowo dengan Erick Thohir. Tujuannya adalah untuk melihat efek elektoral pemilihan presiden setelah deklarasi Anies – Muhaimin.

Angka ini tidak terlalu jauh berbeda dengan simulasi tiga nama tanpa pasangan. Dalam simulasi ini, sebanyak 45,4 persen anggota NU di Jawa Timur yang memilih Ganjar; 25,4 persen memilih Prabowo; 9,5 persen memilih Anies; dan masih ada 19,8 persen belum menjawab.

Saiful menjelaskan bahwa tidak terlihat efek dari pasangan pada keterpilihan Capres.

“Efek pasangan Capres sebetulnya tidak penting. Karena dengan atau tanpa pasangan, Ganjar Pranowo cenderung lebih unggul dibanding Prabowo dan Anies di kalangan anggota NU Jawa Timur,” ungkapnya seperti dikutip dari pernyataan pers.

Saiful menjelaskan bahwa pembicaraan mengenai NU tidak bisa dilepaskan dari Jawa Timur. Secara historis, NU lahir di Jawa Timur. Tokoh-tokoh NU juga berasal dari sana. Dia mengatakan bahwa SMRC cukup rutin melakukan survei dengan pertanyaan apakah Anda anggota NU atau bukan? Kalau anggota, apakah anggota aktif atau tidak aktif?

Menurut Saiful, secara teoretik, civil society bisa punya pengaruh pada politik. Mereka bisa menjadi social network yang memperantarai warga negara dengan masyarakat politik atau partai politik. Kelompok masyarakat sipil bisa menjadi semacam jembatan antara warga negara dengan partai politik. Dalam hal ini, NU bisa berperan seperti itu, apalagi di Jawa Timur.

NU pernah menjadi nama partai politik. Karena itu, NU dengan politik memiliki hubungan yang agak erat. Ada upaya untuk mencoba mendiferensiasi antara wilayah politik dan wilayah masyarakat atau keagamaan, terutama belakangan di mana Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquq, sangat keras soal ini. Namun dalam studi Pemilu atau perilaku pemilih, selalu dipertimbangkan pengaruh aspek sosial pada politik.

Lebih jauh Saiful menyatakan muncul pernyataan apakah setelah deklarasi Anies-Muhaimin di Jawa Timur yang didukung oleh PKB memberi insentif atau semangat positif untuk memperkuat PKB atau untuk memperkuat pasangan tersebut?

Menurut Saiful, ada tiga lapis masyarakat yang diharapkan muncul memberi dukungan pada pasangan Anies- Muhaimin.

Pertama diharapkan yang mendukung pasangan Anies-Muhaimin datang dari pendukung partai yang mengusungnya: PKS, Nasdem, dan PKB. Secara spesifik, diharapkan pendukung PKB mendukung pasangan tersebut.

Kedua, dukungan itu diharapkan meluas ke massa organisasi masyarakat. Ormas yang dekat dengan PKB adalah NU. Karena itu, diharapkan massa NU terkanalisasi dukungan politiknya ke pasangan Anies-Muhaimin.

Di lapis ketiga, baru masyarakat umum.

 

Seberapa penting NU?

Di tingkat nasional, kata Saiful, publik yang mengaku sebagai anggota NU (aktif maupun tidak aktif) sekitar 20 persen. Keanggotaan organisasi, menurut dia, menunjukkan kedekatan yang lebih kuat karena terlibat langsung dalam organisasi.

Dalam survei SMRC, September 2023, di Jawa Timur, yang mengaku sebagai anggota aktif NU sebesar 16,8 persen, yang mengaku anggota tapi tidak aktif sebanyak 31,6 persen, yang bukan anggota 51,2 persen, dan tidak jawab 0,4 persen. Jika dijumlahkan antara anggota aktif dan tidak aktif, jumlahnya sekitar 48,4 persen. 

Saiful menyebut bahwa massa NU sangat besar. Secara proporsional, presentase massa NU di Jawa Timur dua kali lebih besar dibanding nasional sebanyak 20 persen.

“NU di Jawa Timur sangat besar. Yang mengaku sebagai anggota NU di Jawa Timur sekitar 48,4 persen. Kalau diberi pertanyaan yang lebih longgar misalnya apakah Anda bagian dari jamaah NU, mungkin yang menjawab ya akan lebih besar lagi, bisa di atas 50 persen,” jelas Saiful.

Karena besarnya NU, Saiful melihat ini sebenarnya peluang untuk PKB membesar.

“Kalau PKB hanya mencurahkan perhatiannya untuk melayani NU, bahkan hanya di Jawa Timur, itu sudah besar. Karena itu, menurut dia, partai politik yang lain juga tertarik untuk dekat dengan NU karena begitu besarnya organisasi ini,” jelas Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.

Saiful menyatakan bahwa preferensi politik warga NU di Jawa Timur mirip dengan aspirasi umumnya warga Jawa Timur dalam pilihan presiden.

“Di Jawa Timur, baik warga NU maupun bukan jamaah NU kebanyakan memilih Ganjar. Sentimen politik orang NU dan orang Jawa Timur secara keseluruhan kurang lebih sama,” jelas Saiful.

Warga NU secara umum menyebar di daerah Tapal Kuda atau pesisir. Sementara yang bukan NU lebih dominan di wilayah pegunungan. Namun karena sangat besar, warga yang bukan NU juga cukup familiar dengan NU yang sangat besar.

Saiful menjelaskan bahwa kecenderungan pemilih NU pada pemilihan presiden ini mirip dengan kecenderungan mereka pada 2014 dan 2019 antara Jokowi dan Prabowo.

“Orang NU di Jawa Timur dan nasional umumnya adalah pemilih Jokowi. Di mata pemilih, yang mirip atau beririsan dengan Jokowi adalah Ganjar Pranowo. Karena itu wajar kalau sampai sekarang publik NU masih lebih cenderung ke Ganjar,” pungkasnya.

Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia di Jawa Timur yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (multistage random sampling) 180 responden.  Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 150 atau 83%.

Sebanyak 150 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 8,2% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Waktu wawancara lapangan 2- 11 September 2023. ***

Artikel Terkait