Nasional

Simak! Langkah Kementerian PUPR Seimbangkan Pembangunan Infrastruktur dan Tata Kelola Air

Oleh : Rikard Djegadut - Selasa, 06/02/2024 16:57 WIB

Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bob Arthur Lombogia, saat konferensi pers Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9) Road to 10th World Water Forum bertajuk “Atasi Banjir, Kurangi Risiko Bencana”, Selasa (6/2/2024) secara virtual dari Jakarta.

Jakarta, INDONEWS.ID – Pengelolaan air dan pemanfaatannya dua hal yang menjadi perhatian pemerintah dalam penyediaan infrastruktur di tanah air, termasuk pembangunan yang sedang dilakukan di Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Konsep yang dikembangkan di IKN adalah Zero Delta Q di mana setiap bangunan yang didirikan memperhatikan debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai.

Hal tersebut dikatakan Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bob Arthur Lombogia, saat konferensi pers Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9) Road to 10th World Water Forum bertajuk “Atasi Banjir, Kurangi Risiko Bencana”, Selasa (6/2/2024) secara virtual dari Jakarta.

“Ini sebenarnya inti dari konsep Spons City. Daerah-daerah yang merupakan ruang air tidak bisa digunakan untuk membangun gedung. Kemudian setiap gedung yang dibangun harus ada tampungan air. Air yang ditampung ini selain tidak masuk ke drainase juga bisa diolah kembali untuk kebutuhan wilayah atau gedung bersangkutan. Ini sudah kita mulai di IKN,” ujar Bob.

Zero Delta Q akan mewajibkan setiap pengembang atau pelaku aktivitas pembangunan tidak mengakibatkan bertambahnya debit air yang akan masuk ke dalam sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai. Kawasan tengah dan hulu pembangunannya harus sesuai dengan peruntukan dan kepadatan yang diperbolehkan.

Namun begitu, lanjutnya, terkait tata kelola air khususnya kaitannya dengan pengelolaan banjir, secara umum pihaknya menaruh perhatian pada bagaimana menata perilaku air dan di waktu yang bersamaan menata perilaku manusia. Kedua hal ini dikatakan Bob sebagai pengendalian secara struktural dan non struktural.

Pengendalian non struktural diakuinya menjadi tantangan yang hingga saat ini masih dihadapi. “Menata perilaku manusia harus kami akui masih butuh dorongan lebih. Sementara menata perilaku air kita sudah punya konsep,” katanya.

Menata perilaku air, katanya, dibagi dalam beberapa upaya yang telah dilakukan misalnya membangun tampungan-tampungan air seperti waduk, embung, kolam retensi, sumur resapan, dan lain sebagainya.

Kemudian juga meningkatkan kapasitas tampungan Sungai seperti tanggul banjir dan normalisasi atau pengerukan. Lalu ada pembagian air di sungai yang dikenal dengan istilah kanal, membangun infrastruktur yang mampu meningkatkan kecepatan air atau dikenal dengan sudetan dan terowongan. Ada juga pengendalian sedimentasi, penataan drainasi hingga langkah mencegah air laut naik ke darat atau ROB.

Prioritas pemerintah saat ini, lanjut Bob, adalah upaya pengendalian banjir di daerah yang sering mengalami banjir. Pihaknya sudah melakukan pemetaan apakah daerah tersebut dirasa perlu untuk dibangun infrastruktur penguat.

“Misalnya bendungan, jika dirasa perlu maka pemerintah akan melakukannya. Atau misal jika bisa diatasi hanya dengan melakukan normalisasi atau pembuatan tanggul saja. Selain itu tentu ada pertimbangan teknis seperti topografi, teologi, dan lain sebagainya. Tapi sebenarnya yang jauh lebih penting adalah pengendalian non struktural. Karena partisipasi masyarakat menjadi poin penting dalam persoalan tata kelola air,” katanya.

Pencegahan non struktural di antaranya adalah kegiatan konservasi, kegiatan komunitas-komunitas peduli lingkungan, edukasi sejak dini terkait pentingnya tata kelola lingkungan, pemanfaatan ruang dan air, membangun partisipasi yang terintegrasi, sosialisasi berbagai regulasi kepada seluruh masyarakat, hingga adaptasi pada daerah dataran banjir.

Untuk itu dirinya sangat menanti pertemuan dan keputusan yang akan diambil dalam World Water Forum 10th yang akan digelar di Bali pada 18 hingga 24 Mei 2024.

Forum tersebut dikatakannya akan menjadi pertemuan solutif buat negara-negara anggota dan bahkan dunia terkait masalah tata kelola air, khususnya bagaimana mereduksi bencana banjir termasuk dampaknya, serta persoalan kekeringan.

“Dalam Forum ini akan dibahas tematik banjir yang dihadapi seluruh negara di dunia. Dan apa yang menjadi keputusan nanti, seluruh anggota yang ada akan mengimplementasikannya. Ini efeknya akan luar biasa. Semua negara akan mengimplementasikan karena akan ada deklarasi yang haris dipatuhi bersama,” ujar Bob.  

World Water Forum 10thakan digelar di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) pada 18 hingga 24 Mei 2024. Diperkirakan akan ada 350 sesi di forum yang akan dihadiri sekitar 30.000 peserta. Sebanyak 32 kepala negara anggota WWC juga akan hadir dengan 190 di antaranya adalah pejabat setingkat menteri serta 60 organisasi.

Sementara mitra kerja sama yang akan hadir adalah UNEP, GIZ, World  Bank, UNESCO, Deltares, ICHARM,  HELP, JICA, KOICA, K-Water, ADB,  ERIA, OECD, PT. PII, IWRA. 

Artikel Terkait