Oleh: Atmonobudi Soebagio
Jakarta, INDONEWS.ID - Pemanfaatan energi nuklir telah semakin berkembang sesudah Perang Dunia II, dan belakangan ini telah mampu menyuplai sekitar 9 % energi primer dunia. Sebelumnya, energi fossil telah lebih dulu menjadi bahan bakar bagi kendaraan bermotor maupun pembangkit listrik.
Tentu saja, tidak semua sumber energi berasal dari fossil dan nuklir. Sumber-sumber energi terbarukan yang pada dasarnya adalah ‘energi matahari dan semua turunannya’ dalam bentuk energi nabati, listrik tenaga air, angin dan energi gelombang laut, memegang peran penting dalam sistem energi terbarukan bagi masa depan kita.
Istilah ‘terbarukan’ didasarkan pada ‘aliran energi yang diisi ulang secara proses alamiah’, sehingga tidak akan habis bila dibandingkan dengan energi fossil maupun nuklir yang terbatas cadangannya di bumi.
Dampak lingkungan dari energi terbarukan bervariasi, namun secara umum jauh lebih rendah daripada dampak bahan bakar fossil. Energi nuklir menyuplai 9 % kebutuhan energi listrik dunia. Jumlah tersebut merupakan penurunan dari yang sebelumnya sempat mencapai 20% karena beberapa alasan, antara lain: terjadi kecelakaan nuklir akibat human error maupun bencana alam, serta sulitnya menekan tarif listrik karena limbah nuklir PLTN harus disimpan puluhan tahun dengan sangat hati-hati sampai melemah sifat radioaktifnya.
Dan proses tersebut membutuhkan biaya yang sangat mahal. Biaya dari proses tersebut, bahkan akan diperhitungkan ke dalam penetapan tarif listrik, meskipun PLTN tersebut telah lama berakhir pengoperasiannya. Karena alasan tersebut, maka PLTN tidak cocok bagi Indonesia yang mayoritas pelanggannya adalah ‘masyarakat menengah ke bawah’.
Jerman telah menjadi pelopor dalam mengurangi jumlah PLTN-nya. Proses pendinginan pada reaktor Fukushima Daiichi, yang rusak berat akibat terjangan tsunami (2011), memerlukan air dalam jumlah sangat besar (ratusan tanki raksasa) untuk mendinginkannya, serta butuh waktu 12 tahun baru bisa membuangnya ke laut (2023), setelah dianggap cukup rendah dan aman tingkat radiasinya. Pembuangan itupun menimbulkan protes keras dari negara-negara di wilayah Pasifik, termasuk Indonesia, karena nelayan-nelayan negara tersebut sangat bergantung pada ikan-ikan di laut tersebut sebagai sumber mata pencarian mereka.
Kini semua pertimbangan di atas telah mengerucut ke pemanfaatan ‘energi terbarukan sebagai energi masa depan demi kemanusiaan yang beradab’. Berdasarkan laporan Kementerian ESDM pada Semester I Tahun 2024, kapasitas terpasang energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia bertambah 217,7 megawatt (MW), atau sekitar 66,6 % dari target tahunan sebesar 326,91 MW. Peningkatan kapasitas tersebut didominasi oleh PLT Hidro dan PLT Surya. PLT Hidro berhasil mencapai 66,4 % dari target, sementara PLT Surya bahkan melampaui targat dengan capaian 147,02 %. Kendati PLT Panas Bumi belum mencapai target, namun sektor energi terbarukan lainnya, seperti energi nabati, juga menunjukkan perkembangan yang positif, yakni 43,2 % dari target.
Penulis berharap bahwa Pemerintah Baru di bawah Bapak Presiden Prabowo Subianto akan mempertimbangkan berbagai risiko besar apabila menggunaan PLTN sebagai sumber daya listrik. Selaku negara maju, ‘penguasaan teknologi nuklir tidak harus dalam bentuk pemanfaatan energi nuklirnya’, seperti pada PLTN maupun pada roket-roket pembawa bom nuklir.
Cukup banyak ‘teknologi nuklir’ yang dapat digunakan pada proses scanning maupun terapi di dunia ilmu kedokteran karena sangat rendah tingkat radiasi partikel isotope yang digunakannya; bila dibandingkan dengan pemanfaatan PLTN sebagai pembangkit daya listrik.
Perang antara Israel vs kelompok Hamas di Jalur Gaza telah semakin meningkat dan meluas kerusakannya. Demikian juga dalam jumlah negara yang terlibat mendukung kedua belah pihak yang berperang. Jumlah korban tewas pada 22 Oktober 2024, lebih dari 44.000 orang (42.718 warga Palestina dan 1,706 warga Israel) dilaporkan tewas dalam Perang Israel - Hamas.
Perang tersebut dapat menjadi pemicu terjadinya Perang Dunia III, karena telah melibatkan negara-negara pendukung kedua belah pihak yang juga menguasai teknologi bom nuklir. Dan negara-negara yang berperang serta memiliki PLTN, akan berisiko mengalami kerusakan sangat parah di wilayah negara mereka karena PLTN mereka juga akan menjadi sasaran dalam peperangan tersebut.
Semoga prediksi tersebut tidak pernah terjadi, karena dapat berdampak besar pada negara-negara yang netral, namun secara geografi berdekatan dengan lokasi perang tersebut.
*) Prof. Atmonobudi Soebagio MSEE, Ph.D. adalah Guru Besar Teknik Daya Listrik dan Energi-Energi Terbarukan pada Universitas Kristen Indonesia.