Jakarta, INDONEWS.ID - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana melakukan revitalisasi Pasar Pramuka. Rencana ini secara terbuka sudah disampaikan Eks Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono beberapa waktu lalu.
Heru menyebut, Pasar Pramuka yang akan direvitalisasi bakal terkoneksi dengan stasiun LRT Jakarta. Sebagaimana diketahui, saat ini tengah berlangsung proyek pembangunan LRT Jakarta fase 1B rute Velodrome-Manggarai, termasuk pembangunan stasiun di depan pasar yang didirikan pada 1975 ini.
Rencana revitalisasi ini ternyata menyimpan segudang persoalan. Utamanya adalah Penolakan pedagang terhadap harga Hak Pemakaian Tempat Usaha (HPTU) yang datang dari hampir seluruh pedagang dan pemilik HPTU yang menyewa dan menempati unit-unit kios di gedung kompleks Pasar Pramuka sejak akhir tahun 80-an hingga sekarang itu.
Mereka mengaku keberatan dengan rencana revitalisasi ini karena dinilai tidak memperhatikan keterjangakuan dan kewajaran harga sebagaimana diamanatkan oleh peraturan daerah no.7 tahun 2018.
Penolakan para pedagang ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, revitalisasi ini bakal berakibat pada naiknya harga obat-obatan mengingat biaya sewa akan menjadi komponen biaya pokok penjualan. Menurut mereka, harga sewa kios yang ditetapkan oleh Perumda Pasar Jaya selaku pengelola, dinilai tidak masuk akal: sangat tidak terjangkau.
"Kami sebenarnya tidak menolak rencana revitalisasi ini. Kami menyambut baik. Tapi kami minta agar penetapan harga perpanjangan HPTU per unitnya dipertimbangkan lagi untuk menetapkan harga yang sewajar-wajarnya dengan memperhatikan keterjangkauan dan kemampuan pedagang serta kondisi pasar yang tidak seramai dulu," kata salah satu perwakilan pedagang dan anggota Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka (HPFPM), Shofan Hakim ditemui media ini, Minggu (3/11/24).
Berdasarkan komunikasi yang dijalin dengan pihak Perumda Pasar Jaya selaku pengelola Pasar Pramuka selama ini, diketahui bahwa harga untuk satu unit kios berukuran 2x2 meter persegi hingga bulan mei 2024 sebesar Rp4.000.000 hingga Rp5.000.000 rupiah per tahun. Sedangkan harga perpanjangan harga HPTU Rp425.000.000 untuk hak guna bangunan selama 20 tahun. Harga tersebut belum termasuk biaya strategis dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Harga ini untuk unit-unit kios yang berlokasi di lantai dasar. Sementara untuk unit-unit kios berukuran sama yang berada di lantai 1 sebesar Rp370.000.000 dan belum termasuk belum termasuk biaya strategis dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Ketua Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka (HPFPM), Yudha Hardinata menyebut, saat ini ada sebanyak 400 unit kios yang terisi. Sebagian besar para pemiliknya, kata Yudha, mengaku keberatan dengan harga yang ditetapkan oleh Perumda Pasar Jaya.
"Selama ini, harga sewa untuk 1 unit itu Rp4.000.000 hingga Rp5.000.000 rupiah per tahun dan ada 400 kios yang terisi. Kenaikan harga HPTU hingga 4 kali lipat ini bisa berimplikasi pada naiknya harga obat. Padahal selama ini, Pasar ini dikenal sebagai apotek rakyat karena menjadi pusat penjualan obat dan alat kesehatan dengan harga yang sangat miring," bebernya.
Saat ini, Yudha menambahkan, hal yang menjadi perhatian dan kecemasan para pedagang adalah menurunnya jumlah pengunjung. Padahal sempat ramai saat pandemi covid-19 kemarin.
Harga yang Wajar dan Terjangkau
"Maka dari itu, kita pertanyakan kenaikan harga ini dengan komponen revitalisasi yang akan dilakukan. Apa saja yang diperbaiki atau ditambahkan? Apakah biaya perbaikan dan penambahan itu sebanding dengan kenaikan harga sewa? Apakah perombakan fisik pasar pramuka dalam rencana perumda memperhatikan kemampuan dan keterjangkauan pedagang,” tanya Shofan lagi.
Lebih lanjut, Shofan menambahkan ”sebagai contoh, rencana pengadaan lift barang tidak mencerminkan kebutuhan mobilisasi barang dari loading dock ke massing-masing kios. Mengingat lokasi row kios dan berat barang yang diangkut tidak memerlukan lift dan alat angkat dan alat angkut yang besar dan masif, pakai troli dan kuli panggul saja sudah cukup.”
Shofan mewakili para pedagang Pasar Jaya menegaskan, pihaknya menyambut baik rencana revitalisasi yang digagas Pemprov DKI melalui Perumda Pasar Jaya. Namun, ada sejumlah catatan yang harus disepakati dan dijelaskan di awal.
Pertama adalah mengenai harga per unit agar disesuaikan dengan kemampuan para pedagang. Kenaikan harga dari Rp100 juta menjadi Rp150 juta dinilai masih wajar dan terjangkau. Selain itu, pihaknya juga mempertanyakan mekanisme pembayaran. Secara tegas mereka menolak pembayaran ditujukan kepada kontraktor dan atau sub kontraktor.
"Kalau kontraktornya kabur dan wanprestasi, kami tagih ke siapa? Pada intinya kami menuntut agar harga dan skema pembayaran itu mohon dipertimbangkan lagi karena ini akan sangat mencekik kami. Sementara saat ini, fakta dan kondisinya, pasar sangat sepi," pungkasnya.
Lebih jauh tentang mekanisme pembayaran, dia menuturkan ”pedagang berharap dan sangat menginginkan pembayaran dapat dibayarkan ke Perumda langsung dengan skema pembayaran baik cash atau dicicil langsung ke perumda hingga 5 tahun serta meminta kepada perumda untuk dapat mengupayakan dan mengajak bank BUMD atau BUMN bekerjasama untuk dapat memberikan fasilitas pinjaman hingga 10 tahun dengan jaminan Hak Pemakaian Tempat Usaha,” pungkasnya.*