INDONEWS.ID

  • Senin, 18/04/2022 20:09 WIB
  • Rakyat Papua Tolak Otsus dan DOB, Mahasiswa Papua-LN Mau Dipulangkan

  • Oleh :
    • Mancik
Rakyat Papua Tolak Otsus dan DOB, Mahasiswa Papua-LN Mau Dipulangkan
Aktivis Kemanusiaan & Peminat Hukum Tata Negara, Marthen Goo.(Foto:Ist)

Oleh: Marthen Goo

Jakarta, INDONEWS.ID - Sungguh ironi, ketika negara mengedepankan praktek-praktek sentralistik, daerah dikorbankan dalam pembangunan nasional (imperialisasi ala modern berkedok kesatuan untuk pembangunan wilayah tertentu) akibatnya tercipta kelas-kelas bahkan lebih dari itu tercipta mayoritas lebih superior dari minoritas bahkan adanya sistim politik yang didesign hanya milik kaum mayoritas yang berdampak juga pada kebijakan yang mengorbankan kaum minoritas.

Baca juga : KSP Normal Dukung Pemekaran sebagai Praktik Pendudukan dan Militerisasi di Papua

Pengelolaan negara di titik jalan menuju lorong kegelapan, karena daerah masih hanya dijadikan tempat mendulang kekayaan untuk pembangunan nasional (versus sentralistik), sementara warga bangsa di daerah tersebut tidak diperhatikan dalam berbagai aspek. Marjinalisasi dan pelanggaran HAM bisa menjadi indikasi buruknya pelayanan pemerintahan di daerah tersebut.

Pemaksaan Otonomi Khusus versus Jakarta pada tahun 2001, sudah terbukti tidak berdampak signifikan, karena jika dikaji dalam dasar hukum Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, tidak terlihat pasal yang memproteksi orang Asli Papua baik dalam ruang proteksi Marjinalisasi maupun proteksi dari bahaya pelanggaran HAM. Dalam riset yang dilakukan LIPI bisa menjadi rujukan adanya dua hal buruk terkait pelanggaran HAM dan Marjinalisasi tersebut.

Baca juga : Aksi Damai di Papua Lumuran Darah, Kapolri Harus Non-Job Para Kapolres dan Kapolda


Rakyat Papua Tolak Daerah Otonomi Baru dan Otonomi Khusus, Pembuat UU Harus Taat dan Hormati

Jika merujuk pada semangat konstitusi, rakyat dikenal sebagai pemilik kedaulatan, hal itu jelas dalam UUD’45 pasal 1 ayat (2). Dan kemudian agar tidak terjadi salah tafsir dan tidak terjadi otoritarianisme kekuasaan baik legislatif dan eksekutif, maka, UU No. 12 Tahun 2011 pasal 96 menjelaskan posisi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan, dimana, pentingnya partisipasi rakyat.

Jadi, kalau rakyat tolak sebuah rancangan undang-undang, maka, rancangan itu wajib hukumnya untuk tidak dibahas lagi. Namun jika tetap dipaksakan dibahas, maka, pembahas dengan sadar melakukan pelanggaran terhadap pasal 96. Mestinya, kelanjutan pembahasan harus diawali dengan keikut sertaan rakyat di Papua. Dalam perubahan UU No. 21 Tahun 2001 menjadi UU No. 2 Tahun 2021, MRP harus dimintai pendapat dari hasil RDP, faktanya itu juga tidak dilakukan. Begitu pun Daerah Otonom Baru (pemekaran Propinsi).

Baca juga : Haris dan Fatiah Tidak Bisa Dipidana, Segera di SP-3

Mestinya juga, saat menjadi Undang-undang, ketika rakyat menolak Undang-undang tersebut, maka, pembuat Undang-undang harus segera mencabut Undang-undang tersebut karena rakyat menolaknya. Sayangnya, di negara Indonesia ini, praktek hukum tidak terlihat, penghormatan pada konstitusi tidak terlihat. Hal yang menarik adalah dalam filsafat hukum, moral dan etika hukum jauh lebih tinggi dari kepastian hukum. Kepastian saja tidak dilaksanakan apalagi moral dan etika hukum.


Mahasiswa Papua Penerima Dana OTSUS Mau Dipulangkan, Apa Logika Afirmasinya?

Sekarang, ketika isu penolakan DOB dan Otsus tinggi, pemerintah ingin memulangkan mahasiswa Papua. Dua kelompok mahasiswa Papua yang akan dipulangkan, yakni (1) Mereka yang dianggap sekolahnya melampaui waktu pendidikan; (2) Mereka yang tepat waktu namun karena perubahan UU No. 21 Thn 2021. Kegagalan logika terjadi karena menyamakan dua hal yang berbeda.

Publik di Indonesia dan khusus Papua dikelabui dengan informasi soal mereka yang melewati batas waktu kuliah, pada hal, perubahan Otsus turut mempengaruhi anak-anak Papua yang sedang kuliah di luar negeri yang berdampak pada kelanjutan pendidikan di luar negeri. Jadi, seakan memutuskan pendidikan keluar negeri ditutupi dengan persoalan batas waktu pendidikan. Pada hal adanya dua variabel yang berbeda, namun memakai satu variabel untuk menutupi yang lain.

Secara bijak dapat kita lihat bahwa (1) Kesepakatan pengiriman siswa dan mahasiswa ke luar negeri dilakukan antara pemerintah Propinsi dan pihak sekolah; (2) Akses, mobilisasi serta upaya proteksi didasarkan pada kesatuan Papua melalui pemerintah Propinsi. Sehingga, jika transfer dana otsus ke Kabupaten, maka, Kabupaten harus melakukan dua hal yang sangat berat dan butuh waktu, belum lagi jaringan kerja.

Jika masalahnya adalah masalah internal soal keterwakilan orang, mekanisme perekrutan, penggunaan anggaran, dan lainnya, itu soal evaluasi dan pembenahan. Kalau ada indikasi korupsi dan kolusi atau nepotisme, itu soal aspek hukum yang harus diselesaikan. Tapi ketika dilakukan pemutusan dengan merubahnya dasar hukum, itu artinya memiliki niat memutuskan masa depan generasi Papua untuk berpendidikan ke luar negeri dengan biaya pendidikan yang bersifat afirmasi.

Sementara, bagi mereka yang melewati batas waktu, mestinya kita juga harus objektif melihat mereka dalam ruang dan semangat afirmasi. Sehingga, mereka yang dikirim ke luar negeri itu harus dilakukan evaluasi terukur soal problematika yang dialami oleh tiap siswa, apakah karena pengiriman pembiayaan yang lambat sehingga siswa harus mencari uang tambahan lagi dan mengakibatkan waktu belajarnya berkurang, ataukah faktor penyesuaian dan lainnya. Terhadap hal ini, mestinya kita tidak menunjukan miskin ide di publik.


Stop Politisasi Mahasiswa Papua, Segera Lakukan Praktek Aksi Afirmasi

Karena ini bagian dari tindakan praktek aksi afirmasi, maka, sudah menjadi tanggungjawab negara melalui pemerintah untuk mendorong tujuan nasional dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah pusat sudah salah ketika merumuskan penyaluran dana otsus langsung ke Kabupaten dan itu akan berdampak besar kepada anak-anak Papua yang kuliah di luar negeri.

Atas dasar itu, maka, Pemerintah sudah harus berpikir solusi atas kesalahan yang sudah dilakukan. Pemerintah pusat harus menjamin bahwa Quota pengiriman mahasiswa Papua ke seluruh dunia tetap akan terus dilakukan selama Otsus versus Jakarta berlangsung dengan cara memediasi seluruh Kabupaten/Kota untuk menyalurkan biaya pendidikan mahasiswa luar negeri dari dana otsus ke Pemerintah Propinsi yang mengelolah SDM Papua, yang selama ini menangani hal tersebut.

Gerakan afirmasi harus dilakukan, bukan dengan politisasi Papua hanya berniat untuk menghambat kemajuan pendidikan di Papua. Jika mekanismenya yang salah, rubah mekanisme, bukan menghambat dan menghalangi kemajuan generasi Papua untuk maju. Perbanyak gerakan-gerakan inovasi, perbanyak ide-ide soluktif, dan berhenti memelihara kedunguan, karena kedunguan yang ditunjukan ke publik hanya akan dinilai sebagai tindakan imperialisasi.

*)Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan & Peminat Hukum Tata Negara.

Artikel Terkait
KSP Normal Dukung Pemekaran sebagai Praktik Pendudukan dan Militerisasi di Papua
Aksi Damai di Papua Lumuran Darah, Kapolri Harus Non-Job Para Kapolres dan Kapolda
Haris dan Fatiah Tidak Bisa Dipidana, Segera di SP-3
Artikel Terkini
Pelepasan 247 Calon Siswa Bintara Bakomsos dan Tamtama Polri Terpadu Tahun Angkatan 2024
Wujudkan Kemandirian Daerah, Kepala BSKDN Dorong Proyek Perubahan Jadi Inovasi
Dies Natalis ke-57, Universitas YARSI Wisuda 406 Sarjana dan Pascasarjana
Bamsoet: Sudahi Konflik, Mari Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran
PNM Excellence Award Bukti Nyata Apresiasi PNM Untuk Karyawan dan Unit Kerja Terbaik
Tentang Kami | Kontak | Pedoman Siber | Redaksi | Iklan
legolas