Gaya Hidup

Novel Setanggi Kopi Petualang Beredar

Oleh : luska - Kamis, 13/08/2020 20:20 WIB

Edo dan Natasya bertemu di gerbang segala bangsa, Persipolis.

Jakarta, INDONEWS.ID - APA yang membuat orang menjadi ragu dalam melangkah? Pertanyaan ini seolah merupakan hipotesis yang ingin dijawab oleh penulis novel SETANGGI KOPI PETUALANG. Untuk menjawab pertanyaan filosofis itu Edo, tokoh dalam novel, harus belajar melalui pengalaman dan perenungannya sejak masa SMA, masa-masa kuliahnya di kampus, serta melalui semua petualangannya berkeliling dunia.

Ia percaya hidup adalah suatu pilihan. Seperti ditulis oleh Robert Frost, jalan bersimpang di hutan, dan aku memilih jalan yang jarang dilalui, dan hal itulah yang membuat perbedaan. Namun perbedaan, dalam kenyataan, sungguh menggelisahkan. Meskipun orang tuanya mencoba memahami pilihannya, ternyata pakde Romonya menolak dengan keras.

Petualangan demi petualangan dilakukannya, ke rimba raya yang kuyup, dan saat tertatih di gelap malam dahan dan ranting pepohonan itu bergerak-gerak bagai cakar-cakar peri yang kurus. Lalu terseok-seok mendaki puncak-puncak gunung yang tinggi berselimut salju, menyusuri sungai-sungai yang membuncah dan menderu.

Ternyata cinta tak harus selalu bersatu. Dan sunyi adalah musik yang mengiris kalbu. Seberapa pun jauhnya, ia harus terus melangkah, merencah rantau sakti laut bertuah. You name it: Amerika, Jepang, padang-padang safari di Afrika hingga ke runtuhan imperium Persepolis, Machu Picchu dan Danau Titicaca. 

Bahkan tanpa direncanakan, ia diharuskan untuk terlibat melakukan Operasi SAR di Gunung Leuser.

Sungguh, hidup memang bukan suatu rencana yang mudah. Seseorang bisa jadi dapat terbuang begitu saja di Pulau Buru, menjadi orang rante hanya karena godaan setanggi kopi. Dan pada akhirnya sikap dan pilihan memang harus diambil.

"Emji Alif is back," komentar Dr. A. Mukhlis Yusuf, mantan Dirut LKBN Antara. "Novelnya ini betul-betul setanggi yang memabukkan."

Di masa mudanya Emji Alif menjadi penulis tersohor di majalah Gadis, Anita, Femina dan Kartini.

Bersama almarhum Norman Edwin, ia juga getol menuliskan kisah-kisah petualangannya, yang tampaknya sangat mewarnai novel Setanggi Kopi Petualang. “Sedikit atau banyak, kamu harus punya pilihan jalan hidupmu sendiri,” tulisnya di novel itu.

Disunting oleh pengarang terkemuka Kurnia Effendi, dengan perancang sampul Iksaka Banu, seorang art director dan penulis pemenang dua kali penghargaan Kusala Khatulistiwa. Tak heran jika "Setanggi Kopi Petualang" berhasil menjadi sebuah novel yang asyik untuk dibaca, terlebih saat harus terkurung gegara Covid-19.

Sementara penjualan di Gramedia sedang disiapkan, novel ini dapat dipesan melalui wa 0812 8411 2191 dan 0812 33728812 dengan harga promo bulan kemerdekaan Rp 75 ribu, bebas ongkir untuk Jabodetabek. Silakan dipesan. (Untuk Keterangan lebih lanjut hubungi Puti Rosdina 0812 33728812).

Artikel Terkait