Nasional

Kinerja DPR Masa Sidang I, IP3: Legislasi Bukan Prioritas, Pengawasan Tidak Maksimal

Oleh : Mancik - Kamis, 14/10/2021 03:12 WIB

Ilustrasi Gedung DPR RI.(Foto:Beritasatu.com)

Jakarta, INDONEWS.ID- Pada Rapat Paripurna pembukaan Masa Sidang (MS) I Tahun Sidang III (2021-2022) tanggal 16 Agustus 2021, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), DPR menargetkan penyelesaian Prolegnas Prioritas 2021.

Ia mengatakan, terdapat 7 RUU sebagai fokus pembahasan dan 4 poin target pengawasan terkait percepatan penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya.

Target DPR tersebut menjadi fokus Ikatan Pemuda Pemerhati Parlemen (IP3) dalam melakukan kajian yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja DPR RI dalam menjalankan fungsi legilasi dan pengawasannya.

IP3 menyebutkan, Prolegnas 2021 mengalami perubahan berupa penambahan 4 RUU yang ditetapkan pada Rapat Paripurna DPR tanggal 30 September sehingga jumlah Prolegnas Prioritas 2021 yang semula berjumlah 33 RUU berubah menjadi 37 RUU.

Penambahan 4 RUU dalam Prolegnas 2021 seperti; 1). RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), 2). RUU Pemasyarakatan, 3). RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan 4). RUU tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Adapun alasaan DPR melakukan perubahan untuk memenuhi kebutuhan hukum nasional. Selain itu, diharapkan produk legislasi yang dihasilkan akan efektif melaksanakan kebijakan negara.

Terkait perubahan berupa penambahan 4 RUU oleh DPR RI dalam prolegnas 2021, Andre Silalahi, Koordinator Bid. Legislasi IP3, menyatakan, perubahan tersebut tidak mendasar dan rancu tujuan.

"DPR dinilai ambisius, tidak efektif dan tidak mampu mengukur beban pekerjaan dengan waktu yang tersisa hanya 3 bulan," katanya.

Andre Silalahi menambahkan, dari segi pencapaian legislasi, secara umum IP3 menilai DPR tidak pernah mengevaluasi dan memperbaiki kinerja legislasi.

"Prolegnas prioritas tidak menjadi prioritas bagi DPR, artinya DPR tidak memiliki prioritas untuk menyelesaikan RUU-RUU prioritas yang telah ditetapkannya sendiri," jelas Hendri.

Adapun fakta yang ada, RUU-RUU yang menjadi fokus pembahasan mayoritas masih berada pada tahap Pembahasan/Pembicaraan Tingkat I dan RUU-RUU yang disahkan merupakan RUU kumulatif terbuka.

"Adapun 3 RUU kumulatif terbuka yang disahkan adalah; 1). RUU tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and the Russian Federation on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters), 2). RUU tentang Persetujuan ASEAN tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, dan 3). RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan," jelasnya.

Sementara itu pada bidang pengawasan, Onesimus Napang, Koordinator Bidang Pengawasan IP3, menyatakan DPR RI menargetkan 4 fokus poin khusus untuk penganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, meliputi; 1) Penanganan di bidang kesehatan. 2) Penanganan dampak pandemi Covid-19. 3) Pelayanan publik pada masa pandemi Covid-19. 4) Sinergi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Terkait dengan target pengawasan tersebut, Onesimus Napang menyatakan, ditemukan banyak persolaan yang belum dapat diselesaikan terkait penanganan Covid-19 dan dampaknya.

"Misalnya terkait penanganan di bidang kesehatan, masih ditemukan banyak kendala dan masalah yang menyebabkan tidak meratanya proses penanganan pandemi seperti keterbatasan ketersediaan vaksin, tenaga kesehatan, dan fasilitas kesehatan di rumah sakit yang menjadi rujukan pasien Covid-19," katanya.

Hal lain yang terkait penanganan dampak pandemi Covid-19, persoalan dijumpai melalui adanya keluhan masyarakat yang terdampak terhadap program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Selain itu, persoalan pemberlakuan pembelajaran tatap muka terbatas di beberapa daerah yang menerapkan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4, walaupun membatasi jam belajar dan peserta didiknya, tetapi tetap menimbulkan cluster Covid-19 baru.

Persoalan yang sama terkait pelayanan publik pada masa pandemi Covid-1. Hampir semua bentuk pelayanan publik dialihkan dengan memanfaatkan elektronik karena dinilai efektif, efisien, dan transparan.

Namun, pelayanan berbasis elektronik yang sangat bergantung pada ketersediaan infrastruktur internet yang memadai, faktanya belum merata di beberapa wilayah di Indonesia.*

Artikel Terkait