Nasional

Perkembangan Omicron BA.2

Oleh : luska - Senin, 28/02/2022 08:21 WIB

Penulis : Prof Tjandra Yoga Aditama (Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan DirJen Pengendalian Penyakit dan Mantan KaBaLitBang Kementerian Kesehatan)

Dunia sedang dilanda COVID-19 varian Omicron, yaitu B.1.1.529 dengan berbagai bentuknya, yaitu BA.1, BA.1.1, BA.2 dan BA.3. Yang dominan di dunia dan di Indonesia sekarang ini adalah BA.1, tetapi kini banyak sekali dianalisa tentang jenis BA.2 dengan segala kompleksitas dan kemungkinan dampaknya
 
Angkanya rata-rata BA.2 dunia mencapai 21.09% dari semua Omicron, jadi satu dari lima Omicron di dunia sekarang ini adalah jenis BA.2.
Tapi, sdh ada bbrp negara yang BA.2 nya dominan, lebih dari 50%, a.l tetangga kita Brunei Darussalam, dan juga Filipina, Bangladesh, China, India, , Nepal, Pakistan, dll. 
WHO memang menyebutkan bahwa prevalensi tertinggi BA.2 diantara keseluruhan terjadi di daerah WHO Asia Tenggara, yaitu 44,7%.
 
Dampak BA.2 ini memang masih terus dipelajari, a.l.:
- nampaknya memang lebih mudah menular daripada BA.1 yang sekarang ada
- menurut WHO sampai 22 Februari 2022 maka belum ada bukti bahwa BA.2 menimbulkan dampak kasus menjadi lebih berat. Ini juga sesuai dgn data dari Afrika Selatan, Inggris dan Denmark yang menunjukkan beratnya penyakit sama saja pada BA.1 dan BA.2
- Tapi publikasi pra-cetak 16 Februari 2022 dari Jepang yang berjudul “Virological characteristics of SARS-CoV-2 BA.2 variant” menyebutkan nampaknya BA.2 dapat lebih berat. Uji coba pada binatang memang menunjukkan bahwa BA.2 dapat menimbulkan dampak klinik lebih berat, tetapi ini pada binatang percobaan, belum tentu terjadi terjadi pada manusia.
- WHO juga masih menyatakan bahwa efikasi vaksin masih sama antara BA.2 dan BA.1, sementara penelitian di Jepang menduga efektifitas vaksin menurun, walau dapat meningkat kembali sampai 74% dengan booster
- Penelitian di Jepang ini juga menyajikan bahwa pada infeksi dengan BA.2 terjadi penurunan efektifitas obat antibodi monoklonal seperti sotrovimab.
- BA.2 tidak memiliki fenomena SGTF (“S gene target failure”), sehingga penggunaan PCR SGTF jadi terbatas, sehingga perlu memperbanyak pemeriksaan “Whole Genome Sequencing”.
 
Indonesia perlu waspada dan mengambil langkah antisipasi yang tepat, kalau-kalau BA.2 juga akan meningkat di negara kita.
 
 

Baca juga : PDPI 50 Tahun

Artikel Terkait