Nasional

Bela Mega-Paloh soal Pemilu 2024, Demokrat: Itu Akal-akalan Luhut

Oleh : Rikard Djegadut - Minggu, 13/03/2022 18:02 WIB

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (Foto: Ist)

Jakarta, INDONEWS.ID - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim memiliki big data yang berisi percakapan 110 juta orang di media sosial. Luhut menyebut 110 juta orang itu mendukung penundaan Pemilu 2024.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat, Jovan Latuconsina angkat bicara. Menurutnya usul penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 merupakan tindak akal-akalan yang dilakukan oleh penguasa saat ini.

Di sisi lain, Jovan mengapresiasi sikap Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dalam menyikapi usul penundaan Pemilu 2024. Menurutnya, sikap dua tokoh itu menunjukan seorang negarawan.

"Pernyataan pak Luhut Panjaitan dengan dalih riset big data ini hanya akal-akalan saja," kata Jovan kepada media, Minggu (13/3).

Dia berkata, sikap Mega dan Paloh yang menolak penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 ataupun perubahan periodisasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan sebuah ketegasan yang harus diapresiasi.

Menurutnya, sikap itu memperlihatkan Mega dan Paloh mengetahui konsekuensi mengkhianati demokrasi.

"Rakyat bisa chaos. Bukan tidak mungkin TNI Polri akan dijadikan alat untuk membungkam ketidaksetujuan rakyat," ucap Jovan.

Berangkat dari itu, Jovan menyatakan bahwa sejarah mengajarkan bahwa situasi kerusuhan atau chaos bisa terjadi bila rakyat terus ditekan dan ditakut-takuti.

Dia pun menyarankan, para pejabat pemerintahan saat ini yang tengah berupaya untuk mengutak-atik dan mengkhianati amanat reformasi untuk belajar dari sikap negarawan Megawati dan Paloh.

Jovan menambahkan, pergantian kekuasaan adalah sesuatu yang alamiah dalam sejarah, dan sudah dijamin dalam konstitusi.

"Sebaiknya belajar dari Megawati dan Surya Paloh. Biaya politik dan sosialnya akan terlalu besar," katanya.*

Artikel Terkait