Nasional

Kunjungan Presiden Filipina, Momentum RI dan Filipina Perbaiki Kasus Perdagangan Orang

Oleh : very - Sabtu, 03/09/2022 22:43 WIB

Ferdinand `Bongbong` Marcos Jr. (Foto: Detikcom)

Jakarta, INDONEWS.ID - Tanggal 30 Juli adalah momentum bagi rakyat dunia untuk memperingati hari anti perdagangan orang yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB sejak tahun 2013. Namun, dalam dokumen Trafficking in Persons Report atau TIP Report tahun 2022 yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri AS menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia disebut mengalami penurunan kinerja dalam menangani kasus perdagangan orang.

Sampai hari ini Kementerian Luar Negeri menyebutkan sejumlah 206 buruh migran Indonesia sedang menghadapi hukuman mati karena dijebak menjadi korban sindikat narkoba dan persoalan lainnya.

“Kami sangat menyayangkan karena belum ada itikad baik dari pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan konkret yang dialami rakyat. Seperti kasus Mary Jane Veloso (MJV) buruh migran asal Filipina dan Merri Utami (MU) buruh migran perempuan asal Indonesia yang sampai hari ini masih di penjara dan terancam hukuman mati,” ujar organisasi masyarakat sipil melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (3/9).

Seperti diketahui, MJV ditangkap di Bandara Internasional Adi Sucipto Yogyakarta pada 25 April 2010 karena petugas menemukan heroin sebesar 2,6 kilogram yang terbungkus alumunium foil. Sedangkan, MU ditangkap di bandara Soekarno Hatta Jakarta sejak tahun 2002 karena petugas menemukan narkoba jenis heroin seberat 1,1 kg di dinding tas.

Menurut organisasi masyarakat sipil, latar belakang dan perjalanan hidup MJV dan MU tak jauh beda dari kenyataan sehari-hari yang dialami para perempuan buruh migran. Mereka adalah korban kemiskinan, migrasi paksa, perdagangan manusia dan sindikat narkoba yang memanfaatkan ketidakberdayaan dan kerentanan para perempuan desa untuk kepentingan bisnis mereka.

Dengan modus ditawari pekerjaan menjadi buruh migran, namun naas MJV dan MU malah dijebak oleh para sindikat untuk membawa narkoba yang menyebabkan mereka ditangkap dan dipenjara. MJV dan MU korban perdagangan manusia dan sindikat narkoba dan tidak sepatutnya negara menghukum korban.

Hingga saat ini MJV menunggu untuk diberikan kesempatan testimoni, menuntut pembebasan namun sayangnya tidak diberikan. “Sudah 2 kali pergantian Presiden Filipina dan Indonesia, namun kejelasan proses keadilan Mary Jane masih digantung. Sementara MU memohon grasi kepada presiden namun juga tidak diberikan,” ujarnya.

Kasus serupa dengan MJV juga menimpa seorang buruh migran Indonesia, Dwi Wulandari (DW). Dia ditangkap oleh di Bandara Internasional Nonoy Aquini Filipina karena ditemukan kokain seberat 6,3 kg di bagasi yang dibawanya. DW direkrut oleh tetangganya untuk bekerja di Malaysia. Namun, setelah itu ia diminta untuk berpergian ke beberapa negara hingga ke Peru lalu ke Manila.

Dalam perjalanannya di Peru, ia dititipi barang oleh seseorang yang harus diantar ke Manila. Barang ini lantas yang membuatnya sempat dijatuhi hukuman seumur hidup oleh pengadilan Filipina setelah 5 tahun dipenjara. Namun di tahun 2019, setelah ajuan bandingnya dikabulkan, ia dinyatakan bebas dari segala tuntutan.

Belajar dari kasus-kasus MJV, MU dan DW bahwa sindikat narkoba menjalankan aksinya dengan berbagai macam cara dan tidak segan-segan mengorbankan kehidupan pekerja migran. Kasus DW menunjukkan bahwa masih besar kemungkinan pembebasan MJV dan MU untuk dilakukan.

“Kami yakin bahwa Presiden Jokowi dan Ferdinand `Bongbong` masih memiliki hati nurani sehingga dapat meyakinkan pembebasan mereka. Kami mendengar bahwa tanggal 4-6 September 2022 mendatang, Presiden baru Filipina Ferdinand `Bongbong` Marcos Jr berencana untuk mengunjungi Presiden Indonesia Joko Widodo,” katanya.

Setelah resmi dilantik pada 30 Juni 2022 Presiden Ferdinand `Bongbong` ingin mengikuti tradisi masa lalu mengikuti presiden sebelumnya dengan berkunjung ke negara kawasan Asia Tenggara untuk tujuan kenegaraan. Dalam kesempatan kunjungan kenegaraan pertama presiden Ferdinand `Bongbong` ke Indonesia, maka organisasi masyarakat sipil menyatakan sikap:

  1. Mendesak kedua kepala negara Indonesia dan Filipina untuk segera memberi kesempatan kepada Mary Jane Veloso bersaksi dalam persidangan di Filipina terhadap perekrutnya. Hingga sekarang, Mary Jane tidak diberi kepastian kapan dan bagaimana dia bisa bersaksi dan memaparkan apa yang menimpa dirinya.
  2. Menuntut kepada Presiden Jokowi untuk membebaskan Mary Jane dan Merri Utami dari ancaman hukuman mati serta mengembalikan mereka kepada keluarga masing-masing. Mereka korban yang harus dilindungi dan bukan dihukum.
  3. Sebagai negara-negara supplier tenaga kerja di Asia Tenggara untuk berbagai sektor, kami berharap kepada Presiden Jokowi dan Presiden Ferdinand `Bongbong` tidak hanya membahas kerja sama bisnis dan keamanan negara saja, namun juga membahas perlindungan dan kondisi kerja migran dengan menggunakan kekuatan diplomasi mereka.

Organisasi masyarakat sipil tersebut terdiri dari Jaringan Buruh Migran Indonesia - Hong Kong, Beranda Perempuan – Indonesia, DIAN Interfidei – Indonesia, Human Rights Working Group (HRWG) – Indonesia, Indonesian Family Network (IFN) – Singapore, GANAS COMMUNITY (Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas) – Taiwan, Persatuan BMI Tolak Overcharging - PILAR Hong Kong, Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Hong Kong, Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Macau, Migrant Care – Indonesia, Mitra Wacana – Indonesia, Gabungan Migran Muslim Indonesia (GAMMI) Hong Kong, Ikatan Persaudaraan Pekerja Migran Indonesia (IPPMI) Singapore, Liga Pekerja Migran Indonesia (LIPMI) Hong Kong, Fahmina Institute, Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDHI), Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Macau, Asosiasi Buruh Migran Indonesia (ATKI) - Hong Kong, Komunitas Hanaf Kupang – Indonesia, LRC-KJHAM-Semarang, Indonesia, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane, Koalisi Buruh Migran Berdaulat. Sementara kelompok individu yaitu Pdt. Paoina Bara Pa, Pdt. Emmy Sahertian, dan Sr.Laurentina Suharsih,P.I. ***

Artikel Terkait