Opini

Kebijakan Aneh-Aneh Jelang Pemilu dan Suksesi

Oleh : luska - Rabu, 04/10/2023 17:27 WIB

Penulis : Djohermansyah Djohan (Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri 2010-2014, pendiri i-Otda)

Pemilu wahana suksesi pemimpin secara damai yang diselenggarakan oleh lembaga independen secara jujur dan adil. 

Baca juga : Akhir Masa Jabatan

Masalah muncul bila lembaga penyelenggara pemilu itu dikooptasi oleh penguasa dengan segenap antek-anteknya, sehingga mereka berpihak pada kepentingan rezim, tak lagi setia pada netralitas dan pemilu yang berintegritas.

Masalah bertambah menjadi kalau pemegang kuasa "bermain api"dengan menggunakan lembaga-lembaga negara sebagai alat politiknya. DPR didikte. Lembaga peradilan dikontrol. Lembaga telik sandi dipakai untuk bantu-bantu operasi pemenangan.

Terkait soal pembuatan kebijakan publik, jelang pemilu digelar dan jelang habisnya masa jabatan, tampak kasat mata "bersuluh matahari bergelanggang mata orang banyak", lahirnya kebijakan aneh-aneh yang sarat dengan kepentingan politik raih suara (pragmatis) di dukung mayoritas wakil rakyat.

Apa tanda-tandanya? Pertama, kebijakan dibuat tanpa partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation).
Kedua, kebijakan dibuat untuk bisa dipertukarkan dengan suara (transaksional).
Ketiga, kebijakan yang dihasilkan cenderung membebani keuangan negara dan atau menyulitkan kepala pemerintahan terpilih.
Ketiga, kebijakan dibuat dengan atensi khusus dan pengawalan langsung oleh policy maker-in-chief. Birokrasi di K/L tak didengarkan lagi suaranya.

Segudang contoh bisa diberikan. Untuk kasus yang paling anyar di negeri ini adalah  pembuatan UU ASN, perubahan UU IKN Nusantara, perubahan UU Desa, pembuatan Perpres No 53 Tahun 2023 yang memberlakukan lagi biaya perjalanan lungsum dan mencabut sistem "at cost", pembuatan kebijakan operasional PSN lewat putusan BP Batam tentang Rempang sebagai Eco-City, rencana perpanjangan periodesasi jabatan presiden dan penundaan pemilu yang telah gagal, dan lain-lain.

Hal yang sama, idem ditto, terjadi pula di tingkat pemda kita. Jelang habis jabatan kepala daerah dan diputarnya pilkada. Bisa ditelisik perda dan perkada yang mereka buat.

Mengingat praktik perilaku tak etis ini semakin merajalela di dalam pembuatan kebijakan publik kita, dan tentu tak mungkin melarang mereka membuat kebijakan sementara mereka masih "in power", maka sebaiknya ke depan para kepala pemerintahan terpilih baik di tingkat negara dan daerah dibolehkan mengevaluasi langsung kebijakan publik yang dibuat jelang pemilu dan pilkada, dan dapat mencabutnya.

Artikel Terkait